Implikasi Teologis Profesi Guru Dalam Pendidikan
Malik Fadjar dulu pernah melontarkan statmen menarik yang intinya bahwa: ” Pada saat ini dunia pendidikan kita masih kekuarangan guru, kalau tenaga pengajar banyak, tetapi tenaga guru masih sangat langka., ukuran kualitas perguruan Tinggi bukan hanya dilihat dari berapa yang bergelar Doktor, tetapi berapa banyak guru didalamnya”. Statmen ini sangat menarik untuk dicermati ditengah situasi multi dimensi bangsa Indonesia. Betapa pernyataan ini sungguh sangat dalam, tenaga guru masih banyak melimpah ruah dalam dunia pendidikan kita, namun seseorang yang disebut ”guru” masih sangat jarang. Apalagi banyak sejuta sanjungan akan pentingnya peranan guru dalanm pendididikan misalnya guru sebagai ”agen perubahan sosial ” atau ”ujung tombak pendidikan”.
Oleh karena itu profesi guru bisa jadi akan menempati surga yang sangat tinggi disamping para Nabi, jika ia mampu memberikan pelayananan pendidikan yang baik dan benar. Karena dari hasil didikannya itu, murid akan mengamalkan dengan baik dan benar atas ilmu yang diterimanya. Nabi pernah bersabda, ” Barang siapa yang menunjukan kebaikan, maka ia akan mendapatkan ganjaran dari orang yang melaksanakan kebaikan tersebut ”. Namun, profesi guru bisa jadi akan menempati keraknya neraka yang paling dasar, karena ia telah mendidik dan mengajarkan suatu ilmu yang salah, sehingga muridnya tersebut melaksanakan suatu ilmu dengan tidak baik dan tidak benar. Maka penting untuk mengupas ”makna-makna guru” yang ada dalam khazanah Islam, sebagai landasan dan ikatan etis teologis bagi guru-guru dalam menjalankan profesinya dibelantara dunia pendidikan.
Makna lain sebutan guru yaitu ”mua’allim” yang diambil dari kata dasar ’ilm yang berarti menangkap hakikat sesuatu
Makna Guru Dalam Khazanah Pendidikan Islam
Dalam literatur kependidikan Islam, seorang guru biasa disebut sebagai ustadz, mu’allim, murrabbiy, mursyid, mudarris dan mu’addib. Kata ustad sering biasa digunakan untuk memanggil ”Profesor”. Ini mengandung makna bahwa bahwa seorang guru dituntut untuk ”komitmen” terhadap profesionalisme dalam menjalankan tugasnya.Seorang dikatakan profesional, bilamana pada dirinya melakat sikap dedikatip yang tringgi terhadap tugasnya, sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja serta sikap continous improvement, selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntutan zamannya.
Guru juga sering disebut ”mu’allim” berasal dari kata dasar ’ilm yang berarti menangkap hakikat sesuatu. Dalam setiap ilmu terkandung dimensi teoritis dan praktisnya, dan berusaha membangkitkan siswa untuk mengamalkannya. Ini mengandung makna ditntut untuk mampu mengajarkan kandungan ilmu pengetahuan dan al-hikmah atau kebijakan dan kemahiran melaksanakan ilmupengetahuan dalam kehidupannya. Guru matematika misalnya, akan berusaha mengajarkan hakikat matematika, yaitu mengejar nilai kepastian dan ketepatan dalam mengambil sikap dan tindakan hidupnya, tidak hanya sekedar mengejarkan rumus-rumus matematika. Guru fisika, kimia, biologi tidak hanya sekedar transfer rumus-rumus alam-fisika, tetapi bisa mampu menyentuh aspek metafisika untuk membangkitkan kecintaan pada Tuhan dan kearifan untuk menjaga kelastarian alam.
Makna lain sebutan guru disebut ” murrabbiy” berasal dari kata ”Rabbb”. Tuhan sebagai Rabb al-’alamien dan Rab al-Nas, yakni yang menciptakan, mengatur, dan memelihara alam berserta isinya termasuk manusia. Dilihat dari makna ini maka tugas seorang guru, mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, sekaligus mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirirnya, masyarakat dan alam sekitar. Guru sering pula disebut ”mursyid” biasa digunakanakan dalam Thariqah ( tasawuf). Imam Syafei pernah meminta nasihat kepada gurunya Imam Waki’. Maka gurunya memberikan peringatan bahwa untuk memperkuat ingatan harus diupayakan meninggalkan perbuatan maksiat. Bagaimanan hubungan antara ingatan dengan maksiat ? Dalam psikologi , seseorang dikatakan sehat mentalnya bilamana terwujud keserasian antara fungsi-fungsi jiwa atau tidak ada konflik antara satu fungsi jiwa dengan lainnya. Fungsi jiwa antara lain berupa dorongan, perasaan, ingatan, dan pikiran. Jika salah satu fungsinya terganggu, maka akan berpengaruh terhadap fungsi lainnya. Orang yang berbuat maksiat akan terganggu perasaannnya. Ia akan memiliki perasaan bersalah dan berdosa, yang pada gilirannya akan menggangu kekuatan ingatan dan pikirannya. Dengan demikian seorang Mursyid berusaha menularkan penghayatan akhlak dan atau kepribadiannya.
Sebutan lain guru disebut mudarris, menurut Muhaimin berasal dari kata ”darasa-yadrusu-darsan wa durusan wa dirasatan” . yang berarti terhapus, hilang bekasnya, menghapus, menjadikan usang, melatih, mempelajari. Dilihat dari pengertian ini, maka tugas guru adalah berusaha mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan mereka sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. Pengetaghuan dan ketrerampilan seseorang akan cepat usang seleras dengan percepatan kemajuan iptek dan perkembangan zaman, sehingga guru dituntut untuk memiliki kepekaan intelektual dan informasi, serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, agar tetap up to date dan tidak usang.
Makna lain seorang guru sering disebut pula mu’addib berasal dari kata adab, yang berarti moral, etika, dan adab atau kemajuan lahir dan batin. Kata peradaban juga berasal dari kata dasar adab, sehingga gurub harus berperan sebagai orang yang beradab untuk membangun peradaban yang berkualitas di masa depan.
Implikasi
Dengan demikian makna guru dalam khazanah Islam memiliki beberapa kompetensi dasar yaitu, sebagai ustad (profesor ) yang memegang teguh komitmen profesi, sebagai guru yang bermakna optimal dalam transfer ilmu teoritis dan hikmah ilmu, sebagai murrabi yang mampu menciptakan dan mengatur pendidikan ke arah lebih baik, sebagai mudarris yang berarti memberantas kebodohan mereka, dan sebagai muaddib yang berarti guru sebagai orang yang beradab untuk membangun peradaban masa depan. Maka apapun yang kita lakukan dalam menjalankan profesi guru akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Yang Maha Kuasa, apakah kita menjadi guru yang sesuai dengan makna-makna tadi ? atau menjadi guru zalim ? kalau kita bertekad menjadi guru religius profesional, maka kita siap untuk menduduki surga yang ”paling nikmat” bersama para Nabi. Sebaliknya, kalau kita menjadi guru zhalim (nagajar asal-asalan), maka kiat siap-siap ditempatkan oleh Allah di keraknya api neraka. Pilihan itu ada pada ketajaman nurani kita sebagai pendidik (muraby). Wallahu ’alam bissawab. Maka statmen pak Malik Pajar itu bisa dipahami ternyata kita butuh ”guru”, bukan tenaga pengajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar